Memiliki Utang Segunung Bukan Akhir dari Segalanya!!

Harapan
Pixabay/Geralt
Utang, satu kata yang sangat sering saya dengar dalam 32 tahun kehidupan saya, tetapi sering kali saya remehkan keberadaannya, kecuali ketika akhirnya saya terjebak di dalamnya.

I never knew this kind of pain existed until it happened to me.

Pada saat saya mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar, kata utang sudah seringkali saya dengar, ya kedua orang tua saya adalah PNS di Departemen Keuangan yang job desc-nya mengurus utang negara, sehingga obrolannya tidak jauh dari kata utang. Hal ini berlanjut hingga saya menempuh pendidikan S-1 Akuntansi dan S-2 Manajemen Keuangan, kata "utang" semakin sering saya dengar, bahkan pada tahap ini saya sudah menganggap utang adalah salah satu katalis utama bagi suatu bisnis untuk bisa berdiri dan ekspansi. Puncak perkenalan saya dengan utang adalah pada saat saya bekerja di Bank selama lima tahun. "Doktrin" dari kedua orang tua, konsep ilmu keuangan yang saya pelajari, dan bonus yang besar pada saat bekerja di Bank, yang mana pendapatan utamanya berasal dari utang, membentuk pemikiran saya untuk bersahabat dekat dengan utang.

Pada tahun 2012, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempat saya bekerja dan menjalankan usaha sendiri serta berkecimpung dalam dunia investasi dan trading. Kesuksesan finansial dengan cepat saya peroleh. Terlena dengan itu semua, pola hidup saya semakin konsumtif dan dengan mudahnya berutang, baik dengan menggunakan kartu kredit maupun dengan pinjaman konsumtif ke Bank. Peringatan dari teman-teman saya mengenai bahaya yang mengintai dari tingkat utang yang tinggi, saya anggap angin lalu. Ironis memang, teman-teman saya yang kebanyakan berlatar belakang teknik justru mengingatkan saya mengenai risiko dari utang.

Kekhawatiran teman-teman saya terbukti, pada tahun 2016 usaha saya gulung tikar dan dana investasi yang saya miliki, habis digunakan untuk membayar utang-utang usaha maupun utang-utang konsumtif. Tidak cukup dengan hal itu, aset-aset lainnya yang saya miliki pun satu per satu saya jual untuk membayar utang. Mencoba bangkit dengan membuka usaha baru, alih-alih berhasil, keuntungan dan bahkan modalnya, habis digunakan untuk membayar utang-utang. Terdesak dengan kondisi demikian, akhirnya saya bekerja serabutan, dari menjadi konsultan, hingga menjadi pedagang online. Namun, itu semua belum juga bisa memenuhi kebutuhan hidup saya, karena penghasilan yang diperoleh, seluruhnya terpakai untuk membayar utang beserta bunganya. Kejadian ini berlangsung terus menerus, pola hidup gali lubang tutup lubang yang saya jalani akhirnya semakin memperparah keadaan. Puncaknya, pada akhir Januari 2019, beberapa debt collector mendatangi rumah saya dan memaksa saya untuk membayar cicilan yang jatuh tempo sebesar kurang lebih seratus juta dalam jangka waktu satu hari, ya anda tidak salah baca, saya harus mencari seratus juta dalam satu hari.

Rasa putus asa, terhina, sedih, marah, malu, dan takut bercampur aduk menjadi satu, belum lagi ketika melihat kedua anak saya mengajak bermain dengan polosnya, tanpa mengetahui bapaknya sedang mengalami masalah besar, saya menangis sejadi-jadinya. Setelah puas menangis saya pergi ke masjid untuk sholat Ashar berjamaah, satu hal yang sudah sangat lama tidak saya lakukan. Lalu, saya berdo'a mengadukan permasalahan saya kepada Allah SWT dan entah kenapa dalam keadaan keterbatasan uang, saya justru menyedekahkan seluruh uang yang ada.

Sesampainya di rumah, saya menelpon beberapa keluarga untuk mengajukan pinjaman, semua menolaknya. Saya tidak marah dan dendam, karena penolakan itu sesuatu yang sangat wajar, mengingat kapabilitas saya saat itu dalam melunasi utang, serta besarnya uang yang ingin saya pinjam. Saat itu tinggal tersisa satu kerabat lagi yang memiliki kemampuan finansial yang baik, yang belum saya hubungi. Bukan tanpa alasan saya menghubunginya terakhir, kalkulasi saya menghasilkan tingkat keberhasilan hanya sekitar 1%, tetapi saat itu saya sudah sangat putus asa, sehingga nekad tetap menghubunginya, berharap ada sedikit keajaiban. Tanpa dinyana, kerabat saya tersebut menanyakan nomor rekening saya dan berjanji akan mentransfer sejumlah uang yang saya butuhkan pada hari berikutnya. Saya hanya bisa diam, berterimakasih, selanjutnya meletuplah emosi dalam dada saya, sehingga derasnya air mata tidak dapat saya bendung lagi. Pada momen itu, saya terus menerus mengucapkan:

الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن

"Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam"

Saya sangat yakin sekali, pertolongan dari Allah lah yang menjadikan sesuatu yang mustahil terjadi, menjadi terjadi. Setelah kejadian itu pulalah, saya sangat yakin pertolongan Allah itu melampaui nalar dan logika manusia, sehingga tidak perlulah ada keraguan bagi kita untuk menunggu pertolongannya, bahkan hingga detik-detik terakhir.

Berangkat dari pengalaman di atas, sampai saat ini saya selalu melibatkan Allah dalam setiap urusan saya, saya terus memperdalam ilmu agama dan mempraktikannya di setiap kesempatan. Kehidupan saya berangsur menjadi jauh lebih baik, bahkan terkadang terbesit rasa syukur telah sampai ke titik menakutkan ini. Meski tetap memiliki banyak kekurangan, saya menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih dekat kepada Sang Pencipta.

Apakah utang-utang saya sudah lunas? Belum, utang saya masih tetap banyak.

Apakah saya takut menghadapi tekanan utang ini? Dulu ya, sangat takut sekali, tetapi saat ini saya merasa sangat tenang dalam menghadapi setiap masalah, termasuk utang sekalipun.

حسبن الله ونعم الوكيل نعم المولى

"Cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung"

Baca juga : Cukuplah Allah Menjadi Penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung

Apakah saya masih tetap mencicil utang-utang yang tersisa? Ya, karena utang itu akan dibawa hingga kita sudah mati sekalipun.

نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ"

Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya." (HR. Tirmidzi no. 1078)

Untuk anda yang memiliki utang sebesar gunung, jangan pernah takut sedikitpun, bekerjalah sebaik mungkin dengan niat Lillahi Ta'ala, untuk melunasi utang-utang yang ada.

Baca juga : Jangan Terlalu Banyak Berpikir, Bekerjalah!

Jual setiap aset yang anda miliki, untuk melunasi utang.

Bersedekahlah setiap hari, walau hanya dengan menyingkirkan batu kerikil di tengah jalan.

Hadapi debt collector yang datang, jangan pernah lari walau hanya sekalipun, bagaimanapun mereka hanya manusia biasa yang berupaya untuk mencari nafkah. Hargailah mereka dan sadarilah bahwa utang-utang ini adalah akibat dari kesalahan kita sendiri, jangan takut dengan caci maki dan sumpah serapah dari mereka, pejamkan mata anda dan ucapkan "Hasbunallah Wanikmal Wakil".

Dirikanlah sholat-sholat sunnah rawatib, dhuha, hajat, witir, dan khususnya tahajud di sepertiga malam terakhir.

Berdzikirlah dengan suara pelan, setiap ada kesempatan.

Insya Allah, terbit dan tenggelamnya matahari akan mengobati duka kita dan menyelesaikan setiap masalah yang ada.

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 5)

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

"Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 6).

Post a Comment

Previous Post Next Post